Monday, 5 September 2011


TEORI KONTRAK SOSIAL

Teori kontrak sosial berkembang dan dipengaruhi oleh pemikiran Jaman Pencerahan (Enlightenment) yang ditandai dengan rasionalisme, realisme, dan humanisme, yang menempatkan manusia sebagai pusat gerak dunia. Pemikiran bahwa manusia adalah sumber kewenangan secara jelas menunjukkan kepercayaan terhadap manusia untuk mengelola dan mengatasi kehidupan politik dan bernegara. Dalam perspektif kesejarahan, Jaman Pencerahan ini adalah koreksi atau reaksi atas jaman sebelumnya, yaitu Jaman Pertengahan. Walau pun begitu, pemikiran-pemikiran yang muncul di Jaman Pencerahan tidaklah semuanya baru. Seperti telah disinggung di atas, teori kontrak sosial yang berkembang pada Jaman Pencerahan ternyata secara samar-samar telah diisyaratkan oleh pemikir-pemikir jaman-jaman sebelumnya seperti Kongfucu dan Aquinas. Yang jelas adalah bahwa pada Jaman Pencerahan ini unsur-unsur pemikiran liberal kemanusiaan dijadikan dasar utama alur pemikiran.
Hobbes, Locke dan Rousseau sama-sama berangkat dari, dan membahas tentang, kontrak sosial dalam analisis-analisis politik mereka. Mereka sama-sama mendasarkan analisis-analisis mereka pada anggapan dasar bahwa manusialah sumber kewenangan. Akan tetapi tentang bagaimana, siapa mengambil kewenangan itu dari sumbernya, dan pengoperasian kewenangan selanjutnya, mereka berbeda satu dari yang lain. Perbedaan-perbedaan itu mendasar satu dengan yang lain, baik di dalam konsep maupun di dalam praksisnya. Salah satu faktor penyebab perbedaan itu adalah latar belakang pribadi dan kepentingan masing-masing.
1. Thomas Hobbes
Hobbes (1588-1679) hidup pada kondisi negaranya sedang kacau balau karena Perang Saudara; bahwa Hobbes menginginkan negaranya stabil dan Hobbes mempunyai ikatan karier dan politik dengan kalangan kerajaan, sehingga dalam persaingan kerajaan versus parlemen Hobbes memihak kerajaan.


Teori kontrak sosial integratif (integrative social contract theory)


Keputusan dikatakan etis bila didasarkan pada kenyataan empiris dan kondisi normatif (yang seharusnya terjadi).
Merupakan gabungan dari dua kontrak, yakni kontrak sosial yang bersifat umum (general social contract), yakni kontrak yang dibuat dunia bisnis dalam bentuk peraturan-peraturan untuk menjalankan usahanya, dan kontrak sosial yang bersifat spesifik, yakni kontrak yang mengikat suatu komunitas yang menentukan perilaku bagaimanakah yang dapat diterima.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku etis/tak etis:
  • tingkat perkembangan moral
  • variabel-variabel pengubah, i.e.:
    berinteraksi

    • karakteristik individu
    • desain struktur organisasi
    • intensitas masalah etika

Tingkatan perkembangan moral:
      1. Prakonvensional
Penegakan etika dilakukan berdasarkan konsekuensi pribadi yang muncul, misal dalam bentuk hukuman fisik atau balas jasa.
      1. Konvensional
Etika didasarkan pada nilai moral yang timbul ketika seseorang mematuhi standar yang ditentukan dan ketika memenuhi harapan orang lain.
  1. Berprinsip
Individu yang mencapai tingkatan ini secara aktif membuat definisi sendiri mengenai prinsip moral, terlepas dari otoritas kelompok atau masyarakat dimana ia menjadi anggota.

Semakin tinggi tahapan perkembangan moral seseorang, semakin kecil pengaruh eksternal mempengaruhi penilaian moral yang ia lakukan.

Ada 2 variabel kepribadian yang mempengaruhi penilaian seseorang mengenai nilai (NILAI = keyakinan mendasar mengenai mana yang benar dan mana yang salah), yakni:
1.Kekuatan ego
Semakin kuat ego seseorang maka semakin kuat kemampuannya untuk mengikuti keyakinannya dan menolak dorongan untuk bertindak tak etis.
    2.Locus of control (titik kontrol)
Orang dengan locus of control internal meyakini bahwa dirinyalah yang bertanggung jawab atas tindakan dan nasibnya, sehingga ia akan berpegang pada standar nilai yang ia miliki dalam berperilaku.
Orang dengan locus of control eksternal percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi pada dirinya merupakan kebetulan atau keberuntungan, dan ia akan mengandalkan kekuatan dari luar dirinya guna mengatur tata nilai bagi dirinya untuk berperilaku.

Desain struktur organisasi yang dapat mendorong perilaku etis yakni desain struktur organisasi yang meminimalkan bias dan ketidakpastian serta yang dapat secara kontinyu mengingatkan manajer mengenai hal yang tergolong etis.
Desain demikian dapat terbentuk melalui adanya peraturan dan regulasi formal yang jelas, deskripsi kerja dan kode etik tertulis dalam perusahaan, teladan yang dicontohkan oleh karyawan atasan, dan sistem penilaian kinerja yang menekankan pada hasil dan cara dan tidak banyak mengaitkan balas jasa dengan kinerja.

Kultur organisasi yang mendorong perilaku etis adalah:
  • Dari segi isi: Kultur organisasi yang memiliki toleransi risiko, kontrol, dan toleransi terhadap konflik yang tinggi.
  • Dari segi kekuatan kultur: Kultur organisasi yang kuat.

Intensitas mengenai etika dalam memandang suatu tindakan ditentukan oleh faktor:
  • Tingkat kesepakatan bahwa tindakan tersebut salah.
  • Besar kemungkinan tindakan tersebut menimbulkan dampak negatif.
  • Cepat tidaknya dampak negatif tersebut terasa.
  • Kedekatan pelaku tindakan dengan mereka yang potensial menjadi korban dari tindakan tersebut.
  • Besar dampak tindakan terhadap korban.
  • Banyaknya orang yang terkena dampak negatif/Luas dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut.

Standar etika tidak berlaku secara universal.

Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan manajer guna mengurangi/menghindari perilaku tak etis dalam organisasi:
  • Memperkerjakan orang-orang yang memiliki standar etika yang tinggi.
  • Menetapkan kode etik dan aturan keputusan.
  • Keteladanan oleh para pimpinan.
  • Memberikan definisi yang jelas dan realistis atas sasaran pekerjaan serta mekanisme penilaian kinerja.
  • Memberikan pelatihan mengenai etika.
  • Melakukan audit sosial yang independen.
  • Menyediakan dukungan kepada karyawan yang tengah mengalami dilema etika.

KONTRAK SOSIAL INDUSTRI

Ada yang menarik dari Undang-Undang Penanaman Modal yang disahkan oleh DPR RI beberapa waktu yang lalu. Di dalam pasal 15 yang memuat tentang hak kewajiban dan tanggung jawab penanam modal, di salah satu butirnya, disebutkan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) – selanjutnya disingkat CSR.Kewajiban tersebut diatur dalam UU No.25 dan tahun 2007 pasal 15 ayat b yang menegaskan setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan pasal 16 ayat d mengatakan setiap penanaman modal bertanggung jawab menjaga kelestarian lingkungan. Artinya perusahaan penanaman modal berkewajiban memprogramkan kegiatan CSR sehingga dapat meningkatkan jaminan kelangsungan aktivitas perusahaan karena ada nya hubungan yang serasi dan saling ketergantungan antara pengusaha dan masyarakat dan UU No.40 tahun 2007 PT pasal 27 tentang kewajiban sosial perusahaan,.

Pengembangan program-program sosial perusahaan dapat berupa bantuan fisik, pelayanan kesehatan, pembangunan masyarakat (community development), beasiswa dan sebagainya.

Definisi CSR (Corporate Social Responsibility) adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggungjawab mereka terhadap sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada. Contoh bentuk tanggung jawab itu bermacam-macam, mulai dari melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungan, pemberian beasiswa untuk anak tidak mampu, pemberian dana untuk pemeliharaan fasilitas umum, sumbangan untuk desa/fasilitas masyarakat yang bersifat sosial dan berguna untuk masyarakat banyak, khususnya masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut berada. Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan fenomena strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder-nya. CSR timbul sejak era dimana kesadaran akan sustainability perusahaan jangka panjang adalah lebih penting daripada sekedar profitability.

No comments:

Post a Comment